PEMALANG — Pencopotan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Pemalang, Heriyanto, dari jabatannya dan penempatan sebagai Staf Ahli Bupati bidang Pembangunan, Ekonomi, dan Keuangan, menuai sorotan praktisi hukum. Keputusan tersebut dinilai berpotensi cacat administratif serta menyalahi asas meritokrasi dalam tata kelola Aparatur Sipil Negara (ASN).
Mutasi ini didasarkan pada Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 19199/RAK.02.03/SD/F/2025 tertanggal 3 Oktober 2025 serta Keputusan Bupati Pemalang Nomor 800.1.3.3/010/TAHUN 2025 tentang rotasi jabatan pimpinan tinggi pratama. Namun, dasar hukum dan kepatutan kebijakan itu kini dipertanyakan.
Praktisi hukum sekaligus akademisi, Dr.(c). Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM, menilai langkah tersebut bukan sekadar rotasi jabatan, melainkan bentuk demosi terselubung.
“Bupati memang memiliki kewenangan melakukan mutasi pejabat tinggi pratama, tapi bukan kewenangan absolut. Harus ada dasar objektif dan sesuai asas legalitas serta proporsionalitas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” ujar Imam saat dimintai tanggapan, Selasa (7/10/2025).
Menurutnya, pemindahan Sekda yang masih aktif dan tidak sedang menjalani proses disiplin maupun evaluasi kinerja ke jabatan staf ahli dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir).
Imam menegaskan, rekomendasi BKN tidak bisa dijadikan landasan tunggal untuk menurunkan jabatan Sekda. Surat tersebut, kata dia, bersifat teknis-administratif, bukan keputusan final yang otomatis dapat dieksekusi.
“Kalau rekomendasi itu dijadikan pembenaran politik, jelas menyalahi asas netralitas ASN. Uji kompetensi seharusnya untuk menilai kesesuaian jabatan, bukan alat untuk menyingkirkan pejabat tertentu,” tegasnya.
Lebih jauh, Imam menyebut keputusan tersebut berpotensi melanggar asas merit dalam birokrasi. Jika pejabat yang berintegritas justru dimutasi tanpa alasan yang jelas, hal itu dinilai melemahkan moralitas aparatur.
“Tindakan ini berpotensi melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), khususnya asas kecermatan, kepastian hukum, dan larangan menyalahgunakan wewenang,” jelasnya.
Ia menambahkan, kebijakan itu bisa digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) maupun dilaporkan ke Komisi ASN dan Ombudsman RI.
Imam juga menyinggung adanya dimensi politik dalam keputusan tersebut. Menurutnya, jabatan Sekda kerap dipersepsikan sebagai posisi strategis yang rawan intervensi kepentingan.
“Sekda adalah jabatan karier tertinggi di daerah, bukan jabatan politik. Jika dijadikan pion kekuasaan, maka Pemalang justru mundur dari prinsip reformasi birokrasi,” ujarnya.
Imam menegaskan, kepemimpinan yang beradab seharusnya menempatkan hukum di atas kepentingan politik.
Sebagai informasi, Dr.(c). Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM merupakan praktisi hukum dan akademisi hukum administrasi negara. Ia juga Managing Partner Law Office PUTRA PRATAMA & Partners sekaligus dosen di STIHP Pelopor Bangsa, yang selama ini dikenal sebagai pengamat tata kelola pemerintahan daerah dan pembela prinsip good governance di Jawa Tengah.Tris