Gunungsitoli- Sejumlah para nelayan yang menggantungkan kehidupan dilaut terlihat sedih dengan wajah muram mengenang kejadian yang sedang mereka alami di lokasi tambatan perahu disekitaran Pesisir Laut Kaliki di Desa Ombolata Ulu, Kecamatan Gunungsitoli, Kota Gunungsitoli.
Terpantau awak media, saat ditemui di pondok kecil sedang berkumpul bersama beberapa para nelayan dengan memasang spanduk berisikan “Harga Mati” dengan tujuan penolakan terhadap adanya dugaan reklamasi atau penimbunan laut. Sabtu 01 Juni 2024
Saat di konfirmasi, salah seorang nelayan ” Ya’atulo Telaumbanua ” alias Ama Yoseb Telaumbanua mengatakan bahwa daerah tersebut sejak nenek moyang mereka sudah digunakan dan tidak pernah ada larangan, tapi sejak hadirnya Tamin pemilik hotel Kaliki tahun 2006 melarang untuk beraktivitas. Ada banyak orang berkata bahwa Tamin bukan pendatang dan warga percayakan bahwa dia adalah orang asing yang berada di kepulauan Nias. Kondisi itu, terpaksa menolak adanya reklamasi atau penimbunan laut karena ini adalah akses kami dengan ruang terbuka untuk lalu lalang pergi kelaut supaya kami bisa menikmati laut ini secara bebas. Tegasnya Ya’atulo dengan nadal kesal
Ia menceritakan bahwa dulu lokasi ini adalah pesisir pantai dan sudah ditimbunan pada tahun yang lalu untuk tambahan perahu, Apalagi di wilayah pantai tersebut ada permandian umum yang digunakan masyarakat, hingga saat ini tetapi tidak ada sekarang karena bangunannya sudah hancur oleh gelombang laut yang ada. Dengan adanya timbunan batu yang ada sekarang di pesisir pantai kaliki, maka para nelayan sudah melakukan konfirmasi di beberapa instansi baik kepada pihak Danramil, Camat Gunungsitoli, PUTR dan beberapa tokoh tokoh yang lain. Dari hasil itu menjanjikan paling lama dieksekusi pembongkaran parit tersebut tapi terbukti hampir satu bulan tidak terealisasikan.
Sambung Ya’atulo, sejak penimbunan ini pihak TNI sering datang disini, dan ada salah satu nelayan mengatakan bahwa pembagunan ini dari Kodim sehingga kami dibenturkan oleh Kodim. Bahkan pernyataan Si Tamin mengharapkan kepada Dandim supaya mengadapi kami ketika digugat, Seakan-akan kami ini teroris untuk dibenturkan. Katanya
Ama Josep menegaskan bahwa sejak adanya si Tamin kurang lebih 17 tahun lama berada di daerah ini selalu aman sentosa, para nelayan tidak pernah melaksanakan demontrasi dan kekerasan. Namun, jika para nelayan dilarang dan terus dilakukan penimbun laut maka 50-60 Kepala Keluarga yang menggantungkan kehidupan dilaut ini akan mati akibat izin yang diberikan oleh pemerintah.
“Ya’atulo berharap kepada pemerintah tolong diperhatikan masyarakat nelayan jangan berpihak kepada pengusaha yang akan menghancurkan masa depan anak cucu kami, ” Harapnya.
Terpisah, Dandim 0213/Nias, Letkol Inf Torang Parulian Malau, S.IP., M.Sc, saat dikonfirmasi di tempat wisata kaliki, ianya menjelaskan bahwa telah turun langsung dilapangan saat ini untuk mendengarkan seperti apa ceritanya baik dari pemilik lahan, pemerintah Desa Ombalata Ulu, maupun Pemerintah Desa Saewe setelah mendapat laporan dari babinsa.
Dandim mengatakan bahwa pihaknya sebagai aparat kewilayahan, maka harus menjadi solusi kesulitan rakyat bahwa adanya perbedaan pemahaman persoalan tambatan perahu, dan saya selaku yang tertua di pulau Nias, Dandim 0213/Nias mendengar secara utuh dan tidak hanya sekedar sepihak. Setelah mendengar masukan dan cerita dari masing-masing perwakilan tersebut, dan mendapatkan sedikit gambaran utuh terhadap persoalan yang terjadi. Paparnya Dandim
Ia meyakini tidak ada persoalan masyarakat ini yang tidak dapat terselesaikan dengan baik, tidak dapat mediasi tetapi apabila mau duduk bersama berbicara dengan kebenaran data, fakta dan tentu akan ada solusi.
“Itulah yang kami kerjakan dari kodim 0213/Nias saat ini walaupun masih belum ketemu dan saya kira pada pertemuan berikut akan ada jalan terang sehingga dapat membuahkan kesepahaman bersama, baik dari pemerintah Desa Ombalata Ulu, dan Desa Saewe bisa menemukan titik terang, ” Ucapnya Dandim
Perihal tersebut, Tamin Alias asun menanggapi bahwa kegiatan yang dilakukan itu bukan reklamasi atau penimbunan laut dan siap membuat pernyataan serta mempersilahkan pemerintah untuk mengambilnya bila suatu hari kedepan dibutuhkan oleh pemerintah jika terbukti bukan miliknya. Berdasarkan yang saya dapatkan kemarin dari dinas perikanan bahwa secara geografis, itu bukan reklamasi dan masih daratan, “Jelasnya.
Asun mengungkapkan bahwa polemik yang terjadi saat ini terkait tambatan perahu yang mana dulunya adalah tak lain miliknya, lalu berhubung karena para nelayan juga ada disitu sehingga ianya hibahkan sebagian untuk nelayan.
Setelah dihibahkan, ianya meminta bantuan sama pemerintah Kota sehingga terbangunlah tambatan perahu sampai selesai semuanya. Nah saat ini sepertinya dilanggar oleh beberapa warga nelayan, karena tanah yang sebelah yang dia bangun sepertinya para nelayan mencegah cegah. Ianya berpikir untuk membawa keranah hukum. Namun sebelum melapor Tamin memilih melaporkan terlebih dahulu sama pak Dandim Kodim 0213/Nias secara lisan. Alasannya tidak mendahului masuk keranah hukum karena dari awal pembangunan tambatan perahu itu selalu hadir babinsa. Saya melapor dulu sama pak dandim secara lisan dan hari ini pak dandim ada kesempatan untuk melakukan mediasi, namun warga warga yang keberatan tidak menghadiri. Tuturnya tamin.
Dengan tak kunjung menghasilkan mediasi, maka diagendakan dalam waktu dekat. Tamin juga menaruh harapannya agar kegiatannya yang sudah sempat berhenti itu dapat melanjutkannya kembali. Jadi berbagai isulah warga bukan berterimakasih malah menjadi masalah mengatakan bahwa itu reklamasilah dan melarang saya untuk memagar. Diakhiri Tamin. (B4141160 H14)