JEJAK ISLAM DI BARITO TIMUR (Bagian 2)

Ridho R
banner 120x600

Tamiang Layang – Bagian 2, Kamis, 30 Oktober 2025

2) Bermukim Di Lubuk Balai

Sepuluh keluarga Dayak Bakumpai ini pun memilih Lubuk Balai sebagai tempat pemukiman. Mereka mendirikan pondok serta Langgar (Mushalla) untuk melaksanakan ibadah di Lubuk ini. Menurut data yang diperoleh, orang-orang Dayak Bakumpai ini cukup lama mendiami Lubuk Balai bahkan sampai beranak cucu. Hal ini diketahui melalui ditemukannya pemakaman di Maribeng yang merupakan bagian dari Lubuk tersebut.

Menurut cerita, diantara orang-orang yang dimakamkan disini ada orang yang memiliki lebar dadanya 7 jengkal. Makam-makam ini berada disekitar pohon Binjai.

Namun menurut seorang narasumber bahwa saat ini lokasi pemakaman sudah hampir tidak bisa dikenali lagi dengan mudah kecuali bagi orang-orang dahulu pernah ketempat ini. Hal ini karena tidak ada orang yang mengurusnya sehingga nisan-nisan kuburanpun akhirnya lapuk dan akhirnya hilang, sementara tanah kuburanpun rata dengan tanah lainnya. Terlebih lagi saat ini disekitar makam tumbuh berbagai tumbuhan (Bajikut). Oleh karena itu lanjut narasumber bahwa yang dapat ditampilkan dan dilihat saat ini hanyalah lokasi pemakaman saja.

Kembali pada perjalanan hidup 10 keluarga Dayak Bakumpai diatas bahwa suatu ketikapun Belanda sampai ke Lubuk ini. Mungkin sempat terjadi pertempuran di Lokasi ini karena menurut cerita didasar Sungai Lubuk Balai (Maribeng) terdapat senjata meriam milik Belanda yang sampai saat ini tidak dapat diangkat ke permukaan. Tidak diketahui siapa yang menang atau kalah, yang jelas karena Belanda sudah sampai kepemukiman ini, orang-orang Dayak Bakumpai inipun meninggalkan pemukimannya dengan menyusuri Sungai di Desa Pulau Patai ini mereka masuk ke Sungai Sirau untuk mencari tempat pemukiman baru.

3) Menetap Di Pemukiman Kiri Dan Lubuk Tapah

Ditengah perjalanan di Sungai Sirau ini mereka bertemu persimpangan dan akhirnya masuk ke Sungai Simpang Kiri. Sungai Simpang kiri ini mengarah ke Sungai Gasang dan Sungai ini juga sejalur dengan Sungai Jaar. Di Sungai Gasang inilah mereka bermukim dan dikenal dengan Pemukiman Kiri. Ketika mereka merasa tidak aman dari Belanda, terkadang mereka juga bermukim untuk sementara waktu di Lubuk Tapah. Posisi Lubuk Tapah ini berada sekitar 1 Km dari Sungai Gasang. Oleh karena itu di Lubuk Tapah ini terdapat beberapa makam orang-orang Dayak Bakumpai, termasuk makam Nini Chondo yang dianggap keramat Masyarakat sering berjiarah ke makam tersebut sampai sekarang.

a) Tentang Nini Chondo

Berkaitan dengan Nini Chondo, diperoleh informasi dari beberapa narasumber. Setidaknya ada 2 informasi yang diperoleh berkaitan dengan Nini Chondo ini. Menurut informasi yang tersebar di masyarakat Magantis bahwa Nini Chondo ini adalah seorang laki-laki. Sebutan Nini atau Ini dalam Bahasa Bakumpai adalah panggilan untuk Kakek atau Nenek. Sayangnya belum ditemukan secara jelas riwayat Nini Chondo ini.

Namun menurut informasi dari narasumber lain yang mengetahui profil Nini Chondo ini bahwa Nini Chondo adalah seorang perempuan yang hanya memiliki tubuh tetapi tidak memiliki tangan dan kaki. Ia meninggal di usia belia dan tidak sampai usia 5 tahun. Namun setelah meninggal dunia, makam Nini Chondo ini memperlihatkan tanda-tanda kemuliaan sehingga dianggap memiliki keramat. Salah satunya seperti yang diketahui hampir secara umum masyarakat Magantis bahwa makam Nini Chondo tidak pernah tenggelam ketika air pasang, walaupun posisinya berada dipinggir sungai.

b) Tentang Labai Lamiah

Bersambung…….

Pewarta : Yandi

Tulisan ini disadur sepenuhnya dari Buku “Jejak Islam Di Barito Timur”, yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, ISBN Nomor 978-623-236-478-3. Buku ini di Prakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Barito Timur Tahun 2024 dan melibatkan cendikiawan muslim dari UIN Palangkaraya sebagai peneliti ahli. Tidak salah kiranya media turut berperan menyebarluaskan materi buku ini agar cepat tersampaikan, baik untuk masyarakat Barito Timur khususnya maupun masyarakat Indonesia umumnya. Keseluruhan buku ini sebanyak 238 halaman, sementara tulisan dimedia hanya memuat Bab IV, hal. 78 – 217, oleh karena itu tetap disarankan membaca buku ini seutuhnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *