Lampung Barat – Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Kabupaten Lampung Barat, Ananda Yosan Perdana, menyampaikan kritik tajam terhadap kinerja Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Lampung Barat. Ia menyoroti minimnya kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) di instansi tersebut, sehingga harus melibatkan pihak ketiga, yakni Universitas Lampung (Unila), dalam proses verifikasi media massa.
Kritik ini mencuat setelah Diskominfo Lampung Barat menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Pusat Hukum dan Pembangunan Fakultas Hukum Unila pada 20 November 2024. MoU tersebut ditandatangani oleh Kepala Dinas Kominfo Lampung Barat, Munandar Mursal, dan Ketua Pusat Hukum dan Pembangunan Fakultas Hukum Unila, M. Iwan Satriawan. Kerja sama ini bertujuan memverifikasi data perusahaan pers sebagai bagian dari kerja sama publikasi pemerintah untuk tahun anggaran 2025-2030.
Menurut Ananda Yosan, verifikasi media seharusnya bisa dilakukan tanpa melibatkan pihak ketiga. Ia menyebut proses tersebut cukup merujuk pada Undang-Undang Pers dan standar Dewan Pers tahun 2008. “Aturannya jelas, perusahaan pers harus berbadan hukum berbentuk perseroan terbatas (PT) dan memiliki lisensi dari Kementerian Hukum dan HAM. Jika mengacu pada regulasi ini, SDM Diskominfo seharusnya mampu melaksanakan tugas tersebut tanpa perlu menggunakan pihak ketiga,” ujar Yosan.
Namun, pelibatan Unila dalam proses verifikasi justru menimbulkan kontroversi. Sejumlah perusahaan media lokal dinyatakan tidak lolos hanya karena wartawan atau biro mereka belum memiliki sertifikat Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Ironisnya, ada media lain yang juga tidak memenuhi persyaratan serupa tetapi tetap dinyatakan lolos.
Saat dikonfirmasi, Ansori, Kabid Informasi dan Komunikasi Publik Diskominfo Lampung Barat, bersama Yogi, Pranata Humas Diskominfo, menegaskan bahwa sertifikat UKW bukanlah syarat utama, melainkan hanya sebagai nilai tambah. Namun, pernyataan tersebut dianggap tidak sesuai dengan fakta di lapangan, di mana banyak media yang telah memenuhi persyaratan administrasi justru tidak lolos.
Diskominfo Lampung Barat memberikan kesempatan kepada media yang tidak puas untuk mengajukan sanggahan melalui surat resmi yang akan diteruskan ke pihak Unila. Namun, hingga lebih dari seminggu setelah pengumuman hasil seleksi, belum ada kejelasan tindak lanjut terkait sanggahan tersebut. Pihak Diskominfo berdalih bahwa keputusan akhir sepenuhnya berada di tangan tim verifikator Unila.
“Hal ini menimbulkan tanda tanya besar. Tidak ada aturan dalam Undang-Undang Pers maupun peraturan Dewan Pers yang menyebutkan bahwa pihak ketiga seperti fakultas hukum universitas bisa menentukan kelayakan kerja sama perusahaan pers dengan pemerintah daerah,” ujar Yosan.
Ia menambahkan, “Kejadian ini sangat merugikan media lokal yang selama ini aktif menyampaikan informasi kepada masyarakat. Apalagi, media yang tidak lolos seleksi akan kehilangan peluang kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Lampung Barat hingga tahun 2030.”
Situasi ini juga memunculkan dugaan bahwa pelibatan pihak ketiga dalam proses verifikasi sengaja dilakukan untuk menghambat perusahaan media lokal bekerja sama dengan pemerintah daerah.
“Dinas Kominfo Lampung Barat seharusnya mampu melakukan verifikasi secara mandiri. Pegawai di sana sudah sering melakukan studi banding ke daerah lain terkait kerja sama dengan media. Namun, kenyataan ini justru memunculkan dugaan bahwa pelibatan pihak ketiga ini disengaja untuk menjegal sejumlah perusahaan media,” tegas Yosan.
Ananda Yosan mendesak Pemerintah Kabupaten Lampung Barat untuk segera mengevaluasi kinerja Diskominfo. “Kami meminta pemerintah mengganti pejabat dan pegawai Diskominfo dengan yang lebih kompeten agar kejadian serupa tidak terulang,” pungkasnya.(*)