Paluta Padang Lawas Utara – Manfaat dana desa adalah untuk pengentasan kemiskinan yang seyogyanya harus dilakukan secara optimal.
Dari besarnya pagu anggaran dana desa yang dikucurkan oleh pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2023 saat ini yang terus berjalan secara berkelanjutan khususnya untuk kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta) yang terdiri dari 386 desa dan sudah 8 tahun menerima dana desa yang bersumber dari APBN, ofdengan besaran per tahun hampir Rp 400 Milyar.
Namun, menurut ketua Dewan Pengurus Daerah Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (DPD JPKP) kabupaten Paluta Dewi Sartika Siregar SE mengatakan pada kenyataannya penyaluran dan pemanfaatan dana desa khususnya di kabupaten Paluta dinilai sangat amburadul dan tidak tepat sasaran.,ucapnya di kantor sekretariat JPKP Paluta, Kamis (22/6/2023).
Hal ini terlihat banyaknya program yang kurang bermanfaat dan tidak terlalu urgen untuk dilaksanakan melalui dana desa yang bertopeng dengan istilah Bimbingan Teknis (Bimtek) dan Sosialisasi.
“Sebagian besar pelaksanaan Bimtek dan Sosialisasi itu adalah diduga modus menggerogoti dan menguras dana desa,” katanya.
Ia mengungkapkan, pada dasarnya saat sekarang ini dana desa bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan, mengentaskan kemiskinan, memperkuat ekonomi warga dan penurunan stunting.
Tetapi pada pelaksanaannya di daerah kabupaten Paluta, banyak program bermodus Bimtek dan sosialisasi yang dilaksanakan dalam beberapa tahun belakangan ini dinilai tidak memberikan dampak positif terhadap tata kelola pemerintahan desa maupun masyarakat di daerah kabupaten Paluta.
“Ada saya lihat Bimtek kepemimpinan, Bimtek penanggulangan bencana dan yang lainnya entah apa saja dibuat namanya. Ada lagi sosialisasi keterbukaan informasi publik, sosialisasi pengelolaan dana desa dan lain sebagainya yang pelaksanaannya hampir setiap tahun dalam kurun waktu empat tahun belakangan ini,” jelasnya.
Selain itu, biaya yang dianggarkan untuk pelaksanaan Bimtek dan sosialisasi tersebut juga cukup besar. Dan secara keseluruhan, di taksir hampir 30 persen dana desa dialokasikan untuk pelaksanaan Bimtek dan sosialisasi saja.
Sementara untuk pelaksanaan Bimtek tersebut juga selalu diluar daerah yang harus mengeluarkan biaya perjalanan yang cukup besar. Dan untuk sosialisasi, pada prakteknya diduga dilakukan secara asal-asalan dan bahkan dilaksanakan dalam satu waktu atau satu hari dengan peserta puluhan bahkan ratusan desa.
“Kalau memang butuh Bimtek kenapa harus keluar daerah, cukup dengan kegiatan di daerahnya saja dan jika perlu narasumber bisa dihadirkan, bukan malah harus pergi jauh. Sosialisasi juga begitu, sudah programnya kurang bermanfaat, pelaksanaannya juga asal-asalan. Seringkali cuma ambil foto pakai spanduk untuk pembuatan SPJ saja,” ujarnya kesal.
Bahkan katanya, berdasarkan informasi yang didapat dari sejumlah kades, banyak di antara rekan-rekannya terpaksa mengutang kepada rentenir karena tidak punya biaya adminsitrasi pendaftaran, transport ke ibu kota propinsi, makan, dan lainnya.
Selain itu katanya, sejumlah pengadaan barang yang ditampung di dana desa juga sepertinya dipaksakan oleh sejumlah pihak yang berkepentingan dengan melakukan intervensi kepada pemerintahan desa.
Walaupun belum terlalu dibutuhkan desa, pengadaan barang tersebut tetap dialokasikan, bahkan dengan harga yang lebih mahal dari harga di pasaran.
“Belum lagi titipan untuk pengadaan, semuanya dikerjakan oleh pihak ketiga. Salah satunya saya lihat pengadaan CCTV, harganya pun diluar batas kewajaran, informasinya 17 juta dianggarkan. Itu belum terlalu urgent di desa, listrik saja masih susah,” tambahnya.
Ia juga menjelaskan sesuai penelusuran informasi di lapangan, sebagian besar Bimtek dan sosialisasi serta pengadaan barang tersebut sebelumnya diduga tidak ada dibahas dalam musyawarah desa (Musdes) untuk penyusunan APBDes, namun terpaksa dialokasikan karena adanya intervensi atau paksaan dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Padahal katanya, program dana desa tersebut merupakan salah satu langkah nyata Pemerintah RI untuk membangun daerah yang dimulai dari desa. Kenyataannya, dana desa yang begitu banyak digelontorkan dari pemerintah pusat ke setiap daerah kabupaten/kota ternyata menjadi ajang korupsi berjamaah para pemangku jabatan dan selalu melenceng dari penempatan atau pengalokasikannya.
“Dana desa itu bukan untuk kepentingan para pencari keuntungan ekonomi semata. Kami berharap kepada Bapak Bupati Paluta untuk perlu optimalkan pembinaan pengawasannya, atau memang bapak menerima bagian dari program yang tidak bermanfaat itu ya,” ujarnya dengan nada bertanya.
Pada kesempatan ini, ia juga berharap agar Presiden RI, Mendagri dan kalangan penegak hukum baik dari kejaksaan, kepolisian maupun KPK RI, agar lebih ekstra memperhatikan pengalokasian dan pelaksanaan dana desa tersebut.
Kalau memang menjadi ajang korupsi secara berjamaah, lebih baik program dana desa tersebut dihentikan saja. (Team)