Oleh : Fikri
Pendidikan diibaratkan seperti lentera yang menerangi kegelapan, membuka jalan menuju masa depan yang lebih cerah. Bagi Indonesia, pendidikan bukan hanya persoalan akademis, tetapi juga pondasi kemajuan bangsa. Namun, tantangan besar seperti angka putus sekolah masih menjadi masalah yang harus diatasi. Menurut data dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2023, angka putus sekolah menurun sebesar 12% dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ini menggambarkan keberhasilan berbagai program pemerintah sekaligus menggarisbawahi pentingnya pembahasan mengenai dasar yuridis, historis, filosofis, dan sosiologis dalam upaya pembangunan pendidikan. Artikel ini akan mengupas lebih dalam mengenai langkah-langkah yang telah diambil, tantangan yang dihadapi, serta perspektif multidimensional dalam pembangunan sektor pendidikan di Indonesia.
*Pilar Hukum dalam Mewujudkan Pendidikan Inklusif*
Dasar yuridis pembangunan pendidikan di Indonesia tertuang dalam berbagai undang-undang dan peraturan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Undang-undang ini memberikan landasan kuat bagi pemerintah untuk menjalankan program-program yang bertujuan menurunkan angka putus sekolah seperti Program Indonesia Pintar (PIP). PIP didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 yang memberikan bantuan tunai kepada siswa dari keluarga kurang mampu agar dapat melanjutkan sekolah. Nadiem Makarim dalam pernyataannya pada bulan Mei 2023 pada Hari Pendidikan Nasional menyatakan, “Kami akan terus mendorong agar tidak ada anak Indonesia yang tertinggal dari pendidikan hanya karena kendala ekonomi. Melalui PIP kami ingin memastikan hak pendidikan itu tercapai.” Melalui dasar hukum yang jelas ini, upaya penurunan angka putus sekolah mendapatkan legitimasi dan dukungan dari berbagai pihak.
*Perjalanan Panjang Menuju Pendidikan Merata*
Secara historis, pembangunan pendidikan di Indonesia telah melalui perjalanan yang panjang dan penuh tantangan. Pada masa awal kemerdekaan, pendidikan masih menjadi hak istimewa bagi sebagian kecil masyarakat. Pemerintah kemudian meluncurkan program Wajib Belajar 6 Tahun pada era Orde Baru, yang menjadi langkah awal dalam memperluas akses pendidikan di seluruh pelosok negeri. Namun tantangan terus berkembang, terutama di daerah terpencil yang sulit dijangkau infrastruktur pendidikan. Seiring berjalannya waktu, program Wajib Belajar diperluas menjadi 9 Tahun dan akhirnya 12 Tahun pada era reformasi. Kebijakan ini menjadi upaya untuk memastikan setiap anak Indonesia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, partisipasi pendidikan anak usia sekolah meningkat hingga mencapai 94,21%. Peningkatan ini tidak terlepas dari berbagai upaya pemerintah dalam memperbaiki fasilitas pendidikan dan meningkatkan kualitas guru, meskipun ketimpangan antara daerah perkotaan dan pedesaan masih menjadi pekerjaan rumah.
*Pendidikan sebagai Wujud Keadilan Sosial*
Secara filosofis, pendidikan tidak hanya menjadi sarana pembelajaran tetapi juga hak asasi yang harus dinikmati oleh semua orang. Konsep ini sejalan dengan sila ke-5 Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” yang menekankan pentingnya kesetaraan dalam akses pendidikan. Menurut pemikiran Ki Hadjar Dewantara, pendidikan harus mampu menciptakan manusia yang merdeka, yaitu individu yang memiliki kebebasan untuk berpikir, berkreasi, dan bertindak (Rini, 2022). Pendidikan yang merata dan inklusif diharapkan dapat menjadi penyeimbang ketimpangan sosial dan ekonomi yang ada di masyarakat. Filosofi ini menjadi landasan penting dalam berbagai kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk menekan angka putus sekolah dan meningkatkan partisipasi pendidikan. Sebagai contoh, program “Sekolah Penggerak” bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah tertinggal, memberikan kesempatan yang sama bagi setiap anak untuk belajar dan berkembang.
*Dampak Pendidikan terhadap Struktur Sosial*
Secara sosiologis, pendidikan memainkan peran penting dalam membentuk tatanan sosial dan ekonomi masyarakat. Pendidikan yang berkualitas membuka peluang bagi generasi muda untuk meraih pekerjaan yang lebih layak, meningkatkan kesejahteraan hidup, dan membebaskan diri dari belenggu kemiskinan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 hingga 2023, tingkat pengangguran terbuka di kalangan lulusan SMA umum berkisar antara 9,09% hingga 8,15%, sementara untuk lulusan SMA kejuruan berada di angka 11,13% hingga 9,31%. Memasuki Februari 2024, tingkat pengangguran lulusan SMA menurun menjadi 6,73%, sementara lulusan SMK berada di angka 8,62%. Namun di sisi lain, tingkat putus sekolah di Indonesia cenderung meningkat seiring dengan tingginya jenjang pendidikan. Di daerah perkotaan, tingkat putus sekolah di jenjang SMA mencapai 26,75%, sementara di pedesaan angkanya lebih tinggi, yaitu 43,62%. Selain itu, pendidikan juga berdampak pada pengurangan kesenjangan gender dalam akses pendidikan. Program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) dirancang untuk menjangkau tidak hanya anak laki-laki tetapi juga anak perempuan yang selama ini kerap terabaikan dalam akses terhadap pendidikan. Dengan demikian, pendidikan berperan sebagai alat penting dalam menciptakan tatanan masyarakat yang lebih adil dan inklusif.
*Upaya Menurunkan Angka Putus Sekolah*
Penurunan angka putus sekolah di Indonesia tidak lepas dari peran berbagai program bantuan pendidikan yang diluncurkan oleh pemerintah. Salah satu yang paling signifikan adalah Program Indonesia Pintar (PIP) yang memberikan bantuan tunai kepada siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu. Hingga tahun 2023, PIP telah membantu lebih dari 20 juta siswa. Penerima program ini mengalami peningkatan partisipasi pendidikan sebesar 15% menurut laporan dari Kemendikbudristek. Selain itu, pemerintah juga memperluas cakupan beasiswa bagi siswa berprestasi melalui “Beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) dan Beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik)”. Program ini ditujukan bagi siswa-siswa dari daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) sehingga mereka memiliki kesempatan yang sama untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Tidak hanya bantuan finansial, perbaikan infrastruktur juga menjadi bagian penting dari upaya menurunkan angka putus sekolah. Pemerintah telah melakukan pembangunan dan renovasi ribuan sekolah di daerah-daerah terpencil. Menurut laporan Bappenas tahun 2022, terdapat lebih dari 5.000 sekolah yang telah diperbaiki di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan. Dengan adanya fasilitas yang memadai, anak-anak di daerah tersebut tidak lagi harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk belajar. “Pendidikan harus bisa dirasakan oleh seluruh anak bangsa tanpa terkecuali. Pemerintah akan terus memastikan bahwa anak-anak di daerah terpencil memiliki fasilitas yang setara dengan mereka yang ada di kota,” ungkap Kepala Bidang (Kabid) Sosial Budaya Pemerintahan Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda), Sumilir Wijayanti, kepada ppid Surakarta (Sabtu, 29 Februari 2020).
*Tantangan dalam Meningkatkan Partisipasi Pendidikan*
Meskipun angka putus sekolah terus menunjukkan penurunan, tantangan lain yang tidak kalah penting adalah adanya ketimpangan dalam akses dan kualitas pendidikan di berbagai wilayah. Laporan UNICEF tahun 2023 mengungkapkan bahwa banyak daerah di Indonesia yang masih kesulitan mendapatkan akses internet yang memadai, padahal digitalisasi pendidikan semakin esensial dalam proses pembelajaran modern (UNICEF, 2023). Ketimpangan ini menciptakan kesenjangan yang nyata, di mana anak-anak di wilayah perkotaan memiliki akses lebih mudah terhadap informasi dan teknologi dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang tinggal di daerah terpencil. Selain itu, perbedaan kualitas pengajaran dan distribusi tenaga pendidik yang belum merata juga menjadi kendala dalam meningkatkan partisipasi pendidikan secara keseluruhan.
Untuk menjawab masalah ini, pemerintah meluncurkan program “Program Pendidikan Guru Penggerak” yang bertujuan meningkatkan kompetensi guru agar kualitas pengajaran di seluruh Indonesia dapat lebih setara. Di sisi lain, meskipun berbagai program bantuan pendidikan telah digulirkan, biaya pendidikan di jenjang menengah atas dan perguruan tinggi masih dirasa memberatkan sebagian masyarakat. Menurut Sujatmoko (2020), sekitar 30% orang tua mengakui bahwa biaya pendidikan menjadi hambatan utama bagi mereka dalam melanjutkan pendidikan anak-anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Kendala ini terutama dialami oleh keluarga berpenghasilan rendah yang tinggal di kota-kota besar, di mana biaya hidup dan pendidikan cenderung lebih tinggi.
*Membangun Pendidikan yang Berkeadilan dan Berkualitas*
Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang tidak hanya bermanfaat bagi individu, tetapi juga bagi kemajuan bangsa. Penurunan angka putus sekolah dan peningkatan partisipasi pendidikan