banner 728x250
Tak Berkategori  

Ombudsman Rilis Kajian Penerapan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur

Avatar
banner 120x600

JAKARTA – Ombudsman RI merilis hasil kajian pengawasan pelayanan publik terhadap penerapan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuot dan zona. Ombudsman melaporkan adanya temuan pada ranah regulasi da implementasi kebijakan ini.

Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto mengatakan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur berbasis kuota dan zona bertujuan untuk melestarikan sumber daya ikar mengatasi overfishing, meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP, meningkatkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat. “Namun demikian, dalam pelaksanaannya kebijakan ini perlu memperhatikan seluruh aspek dan aspirasi seluruh stakeholder terkait,” ujar Hery dalam Konferensi Pers di Kantor Ombudsman Ri, Jakarta Selatan, Kamis (30/11/2023).

Kajian ini mengungkap temuan Ombudsman pada aspek regulasi dai implementasi kebijakan PIT. Hery mengatakan pada aspek regulasi, pihaknya menemukan belum optimalnya konsultasi publik yang melibatkan secara aktif para pemangku kepentingan dalam penyusunan rancangan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur dai ketentuan pelaksanaanya.

“Kesimpulan ini diperoleh berdasarkan keterangan dari sejumlah pemda dan kelompok nelayan. Meskipun konsultasi publik dalam merancang kebijakan PIT sebenarnya telah dilaksanakan oleh KKP dengan mengikutsertakan akademis dan kelompok pemerhati, namun hal tersebut belum dirasa optimal,” kata Hery.

Temuan kedua, beberapa ketentuan yang mengatur tentang perlindungan terhadap nelayan kecil tidak bersifat mandatory tetapi bersifat pilihan Selanjutnya, Ombudsman menemukan tidak ada parameter yang jelas dar terukur untuk menentukan kategori nelayan kecil.

Persoalan akuntabilitas dan transparansi dalam perhitungan, penetapan dari evaluasi kuota penangkapan ikan yang belum diatur secara komprehensif dalam regulasi PIT juga ditemukan oleh Ombudsman. Disusul kurangnya sosialisasi dan edukasi tentang regulasi serta aturan teknis dari Penangkapan Ikan Terukur

“Kebijakan PIT berbasis kuota dan zona masih belum dipahami secara jelas dan utuh oleh para nelayan, pemilik kapal perikanan maupun pelaku usaha perikanan,” imbuh Hery.

Meskipun kebijakan PIT berbasis kuota dan zona akan dilaksanakan pada Januari 2024 di seluruh wilayah penangkapan ikan di Indonesia, namun Ombudsman melihat ada potensi maladministrasi . Apabila seluruh stakeholde khususnya pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan tida mengantisipasi secara tepat dan cepat beberapa permasalahan yang muncul.

Pada aspek implentasi kebijakan PIT, Ombudsman menemukan lemahnya sistem dan mekanisme pengawasan. “Berdasarkan hasil survei, diketahui masih terdapat nelayan yang melaut lebih dari 12 mil namun tidak memiliki izin sam sekali atau hanya memegang izin dari pemerintah provinsi. fenomena tersebu menunjukkan bahwa KKP belum cukup optimal melakukan pengawasan secar intensif dan menjangkau seluruh wilayah perikanan tangkap di Indonesia,” jela: Hery.

Selanjutnya Ombudsman juga menemukan fakta di lapangan bahwa edukasi dan bimbingan teknis kepada nelayan atau pelaku usaha maupun petugas di daerah masih sangat kurang. Di samping itu, belum semua pelabuhan perikanan menyediakan gerai layanan perikanan tangkap yang berfungsi untuk memfasilitasi nelayan, pelaku usaha perikanan dalam proses migrasi perizina dan sebagai tempat pengaduan atau tanya jawab terkait kebijakan PIT berbasis  kuota dan zona.

Ombudsman juga menyoroti permasalahan tata kelola BBM bersubsidi untu nelayan. “Permasalahan BBM bersubsidi untuk nelayan bukan saja terkait denga pasokan dan rantai distribusi, namun permasalahan dari sektor hulu ke hilir yang perlu pembenahan. Apabila permasalahan BBM bersubsidi masih belum dapa diselesaikan, terutama soal pemerataan pasokan, maka kewajiban untuk melakukan pembongkaran di pelabuhan perikanan setempat tidak dapat maksimal dilaksanakan,” terang Hery.

Ombudsman menemukan masih banyaknya perizinan pada sektor perikanan tangkap bahkan aplikasi yang digunakan lebih dari satu. Nelayan dan pelaksana usaha juga mengeluhkan adanya pungutan seperti biaya tambatan, biaya bongkar dan PNBP yang semakin lama semakin besar.

Ombudsman memberikan saran kebijakan di antaranya, pada aspek regulasi Ombudsman mendorong urgensi konsultasi publik dalam merancang regulasi dan penyusunan kebijakan terkait PIT dengan mengoptimalkan pelibatan seluruh pemangku kepentingan secara aktif. “Yang tak kalah penting memastikan perlindungan terhadap nelayan kecil dilakukan secara maksimal dengan memperkuat sisi regulasi yang mengamanatkan secara mandatory perlindungan bagi nelayan kecil.

Pada aspek implementasi, Ombudsman memberikan saran perbaikan di antaranya agar KKP memperkuat sistem dan mekanisme pengawasan mengenai subsektor perikanan tangkap, Selanjutnya, agar KKP meningkatkan kegiatan edukasi dan bimbingan teknis secara masif kepada para nelayan, pelaku usaha penangkapan ikan dan pelaku usaha pengangkutan ikan serta petugas terkait penangkapan ikan terukur di daerah.

“Ketersediaan stok BBM bersubsidi dan kemudahan akses mendapatkan BBM Bersubsidi dapat diselesaikan. Hal tersebut penting, mengingat kebijakan PIT mewajibkan kapal membongkar hasil ikan di Pelabuhan pangkalan yang dipilihnya, maka ketersediaan stok BBM Bersubsidi harus merata di setiap titik pelabuhan perikanan,” tegas Hery.

Selanjutnya, Ombudsman menyarankan agar pemerintah menyederhanakan perizinan dan mengintegrasikan ke dalarn sistem terpadu antara pemerintah daerah, kementerian kelautan dan perikanan maupun Kementerian Investasi/BKPM selaku pengelola OSS. Dengan demikian setiap perizinan dapat dipantau bersama dan tidak menimbulkan tumpang tindih perizinan.

“Agar penyelenggara layanan menutup potensi terjadinya maladministrasi pelayanan publik dan mengoptimalkan mekanisme tindak lanjut pengaduan yang responsive,” ujar Hery.

Kajian ini mengambil lokasi di PPS Lampulo Aceh, PPN Karangantu Banten, PPS Nizam Zachman, PPM Muara Angke Jakarta, Kejawaan Jawa Barat, Cilacap, PPN Prigi, PPN Pemangkat, PPN Sungai Rengas, PPS Bitung, PPS Ternate.

Kajian dilaksanakan dengan beberapa metode yakni Forum Group Discussion (FGD), survei opini publik kepada para nelayan, pelaku usaha, dan stakeholder, serta melakukan observasi secara langsung di lapangan. (*/Sus)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *