Haluan Indonesia. Jumat, 4 Agustus 2023. Sepanjang hidup Rabindranath Tagore cemburu pada Kalidasa, pengarang Meghaduta itu. Orang tak menyangka bahwa 7 Agustus 1941 merupakan hari terakhirnya. Lima hari sebelum meninggal menghadap sang maha asal, ia masih sempat mendiktekan puisi penghabisan. “ Keranjangku kosong hari ini. Segala yang harus kuberikan telah kuberikan semuanya. Anugerah kecil yang kuterima sehari-hari, kelembutan kasih, pengampunan akan kubawa bersamaku. Ketika di atas rakit kecil kulakukan loncatan terakhir. Menuju pesta terakhir tanpa suara”.
Kelak dalam perjalanan hidupnya, Tagore tercatat dalam sejarah umat manusia sebagai pujangga religius, pemusik, pendidik, filosuf, pelukis serta tokoh pembaharu sosial dengan gerakan Bramo Samaj. Kepujanggannya yang religius ini telah menggerakkan dunia untuk menganugerahi hadiah nobel bidang kesusastraan pada tahun 1913. Ia-lah pujangga Asia pertama yang merengkuh penghormatan tinggi itu. Hingga dunia dibuatnya terkesima. Setahun setelah kemunculan Gitanjali, Universitas Oxford, Inggris menganugerahinya gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang yang sama. Ratu Inggris pun turut memberinya gelar Sir, walau kemudian gelar itu dikembalikan, sebagai protes atas kekejaman tentara Inggris saat pembrontakan di Amritsar.
Agaknya pujian Swami Rama, yogin yang dekat dengan sang Gurudev (guru suci) ini tak berlebihan. “Saya memuja Tagore. Dialah yang paling universal, manusia paling lengkap sepanjang saya ketahui. Dia merupakan pengejawantahan hidup dari keutuhan manusia yang memiliki dua hal : manusia sebagai yang mengetahui dan manusia sebagai yang berbuat. Dia yakin bahwa manusia dapat berkembang dengan memenuhi tuntutan masyarakat dan kerinduan akan kesunyian. Kadang-kadang saya terbiasa menyebutnya Plato dari Timur”.
Kini, setelah setengah abad lebih kerpergiannya, apa kiranya bisa dikatakan pada tanah kelahirannya. “Seandainya Tagore hidup di Calcutta hari ini, bisakah kiranya ia melukiskan sajak-sajak seperti Gitanjali?” Ini pertanyaan yang diajukan penyair Goenawan Mohamad 34 tahun silam – saat mana ia memandang kelu Calcutta dari dekat: “Saya dilahirkan ke dunia ketika semangat modern untuk kemajuan yang lahir di kota besar mulai menggilaskan roda mobilnya yang perkasa di atas kehidupan masyarakat desa kuno yang nyaman dan hijau”.
Rupanya penyair “Parikesit” ini tak berlebihan, lawatannya ke Calcutta September 1966, seperti mencatat keluh kesah — akan roda modernisasi yang tengah menggelinding itu. “Apakah kiranya yang tersisa di sini, dari keindahan pastoral itu?” Demikian tanyanya pada Calcutta yang kumuh. “Setiap pagi, beribu-ribu orang, tak putus-putusnya menghambur ke luar dari stasiun dan sudut-sudut – beribu-ribu orang dikejar waktu kerja, cemas dan berkeringat. Setiap malam di kaki lima, berlapis tubuh tertidur bergelimpangan – berlapis-lapis tubuh dibebani capek oleh kerja atau lapar tanpa kerja, seperti mayat-mayat kotor terhampar sehabis perang besar. Yang tersisa dari masa lampau barangkali cuma gagak-gagak, dengan pekiknya di mana-mana, atau lembu, dengan kotorannya di mana-mana, atau penderitaan lama manusia. Dan yang pasti: terik kota Calcutta masih berlangsung terus.
Dan Rabindranath Tagore, Rsi modern anak negeri India itu keburu meninggal 7 Agustus 1941, sebelum negara-negara Asia dikonfrontasikan dengan segudang problema, sebagai suatu negara baru merdeka dari kekangan imprialisme. “Betapa keserakahan imprialis menyebabkan suatu transformasi demikian buruk dalam karakter suatu suku bangsa yang banyak,” tulis Tagore dalam pidato terakhirnya, Crisis in Civilization. Sebagaimana orang banyak mencatatnya, Tagore tidak mengalami kompleksnya kehidupan, di mana komersialisasi, industrialisasi dan penggunaan teknik modern ternyata merupakan satu-satunya cara pemecahan. Kendati jauh sebelum meninggal — dalam ceramahnya di Canada, 6 April 1929, sang pujangga sembari berkeluh menyatakan: “Jelas bahwa abad modern berada di atas taufan keserba-cepatan”.
Setiap pembaca tulisan-tulisan Tagore akan mengerti kredo kreatifnya, memahami kerinduannya mendalam pada alam, dalam bahasa Goenawan Mohamad, yang dengan pelan-pelan direngut oleh “abad modern” dari hati manusia. Tagore cemas menyaksikan suatu zaman baru yang komersial yang di sana sini menimbulkan ketumpulan intuisi dan daya kreatif. “Penemuan konstruksi dan organisasi, sedang menyebar luas di sepanjang jalan-jalan sejarah kita, tapi kemampuan kreatif manusia yang mengaku bahwa missinya adalah untuk menyatakan apa yang mempunyai nilai permanen dalam kepribadianya, dari hari ke hari makin kehilangan arti”. Apa yang dilihatnya dari kemajuan zaman adalah suatu kehidupan kasar, acak-acakan dan tanpa ritme.
Betul. Peradaban modern telah menyebabkan sebuah generasi kehilangan energi intuitif. Kerusakan alam tiada ampun boleh dibilang merupakan imbas dari abad modern itu. Karena manusia modern sudah mengambil jarak dengan alam. Suatu fenomena dunia yang membuat Tagore waswas dan terus mewanti-wanti. Temuan teknik tanpa sentuhan humanisme memosisikan manusia tak ubahnya sekrup kecil, robot tanpa kendali. Keterasingan tengah mengancam manusia modern. Manusia makhluk berakal cerdik tak lagi menghargai alam. Dengan begitu, manusia tak kuasa atas “karma bumi”, karena ia tak lagi menyadari alam sebagai ibu bumi. Dalam arus deras seperti itulah Tagore menjerit – serta merta sebagai pendidik ia mewujudkan pendidikan bercirikan alam, kebebasan dan kehalusan budi. “Pergilah dan carilah hidup di tempat di mana hidup itu tampak yang terindah. Janganlah pohon itu dibawa ke dalam kelas, tetapi kumpulkan anak-anak di bawah pohon-pohon itu”. Pengenalan pada alam, inilah yang senantiasa diajarkan Tagore pada anak didiknya. Sangat penting mengembalikan anak-anak menurut alamnya, karena itu merupakan pendidikan rasa hati.
Maka tak heran, manakala pujangga ini sempat berkunjung ke Bali di tahun 1927, ia terkagum-kagum melihat keindahan alamnya. “Sampai di Bali kami menyaksikan Bumi dalam segenap kesegaran keremajaannya yang abadi. Di sini zaman lama senantiasa mengalami inkarnasi baru”. “Zaman Purana seakan-akan hidup kembali di hadapan kami….”. “Kisah-kisah dan upacara-upacara yang penuh daya hidup dalam Purana telah mendapatkan keselarasan dengan watak penduduk di sini,” demikian kesan Tagore dalam kumpulan suratnya: Letters Written on The Way to Java.
Sebagai penyair sekaligus pendidik, Tagore mencibir kecendrungan manusia modern – yang tanpa sadar menjadi tumbal peradaban moderen. Manusia meninggalkan sarangnya dan masuk ke dalam sangkar. “Sarang itu sederhana, memiliki hubungan yang mudah dengan langit. Sangkar itu sebaliknya, kompleks dan mahal, menyisihkan apa yang ada di luarnya. Namun manusia modern sibuk membangun sangkarnya sendiri, sibuk menumbuhkan sikap parasitnya sendiri kepada benda, sang raksasa yang ia biarkan mengungkung dari segala penjuru itu. Manusia modern selalu sibuk menyesuaikan dengan pojok-pojok mati dari sangkarnya, membatasi diri pada batas-batas, dan akhirnya jadi bagian semata dari sangkar itu,” demikian tulis Tagore dalam A Poet’s School, 1926.
Kini setelah 82 tahun kepergiannya, sesungguhnya tak ada yang lekang pada pencaharian-pencaharian Tagore. Bukankah kini manusia kian kehilangan spirit estetiknya, kehilangan rasa hati yang dalam, hingga manusia begitu kemaruk mencengkram sesama. Pertikain karena ras dan agama ibarat drama tak kunjung usai. Setiap hari kita menyasikan pekikan pilu orang-orang melarat dan tertindas, tangis yang tak kuasa dihapus.
Di tengah-tengah kegalauan hidup dan kekacauan dunia tak tentu, kita membutuhkan pesan-pesan kemanusian Tagore kembali. Pesan kemanusiaan yang ia bahasakan sebagai Religion of Man – agama untuk manusia. “Kebebasan dengan menolak dunia bukanlah jalanku,” begitu ungkapan filsafat hidupnya. “Tanggalkan pakaian sucimu, turunlah ke tanah yang berdebu itu”. Ini pesan Tagore paling gambelang bagi agama manusia. Agaknya Tagore sejalan dengan Sarvapali Radhakrishnan, bahwa agama-agama yang tidak sensitif terhadap penyakit manusia, dan kejahatan-kejahatan sosial, tidak akan menarik buat manusia modern.
Tak salah jika banyak orang menyebut Tagore Rsi modern, yang membiarkan kakinya berdebu, untuk bersimpati pada orang-orang miskin melarat. “Di mana petani meluku tanah yang keras, di mana pembuat jalan memukul batu, di situlah Dia. Bersama orang-orang ini ia berpanas dan berhujan dan pakaiannya dilekati debu”. Kendatipun ia hidup di lingkungan kelurga kaya, kelemahan-kelemahan zaman tak mengubah kebiasaan-kebiasaannya. “Dialah seorang Sadhaka yang bersungguh-sungguh,” tulis Swami Rama dalam: Living with the Himalayan Masters.
Swami Rama menukilkan, benar bahwa satu tujuan dari semua Sadhaka di dunia ini ingin menjadi manusia yang bersifat kedewaan. Adalah tidak penting bagi “manusia dewa” seperti Tagore untuk meniru “manusia dewa” lainnya di India dalam hal mengekspresikan dirinya. Kehidupannya tidaklah seperti umumnya pertapa yang bagaikan setandus gurun pasir. Pertapaan adalah cara pembebasan diri yang paling kuno, dan memang pertapaan sejati patut mendapat penghargaan. Sama-sama patut dihargai adalah menempuh jalan akhir yang lebih sulit di dunia ini sambil melakukan kewajiban pada sesama. Tagore yakin dalam kehidupan di dunia ini tidak perlu menjadi pertapa. Untuk itulah ia memilih menjadi “Tukang Kebun”. “Jadikan hamba tukang kebun bagi taman bungamu,” tulis sang pujangga.
Di tengah kegalauan yang kian memekat di abad ini, penting membaca kembali serpihan-serpihan pikiran Rabindranath Tagore. Ia memang belum terlalu tua untuk kita, ia ibarat puisi sepanjang masa. Airnya senantiasa memberi kesejukan dahaga batin yang kerontang. Kini, ketika manusia mengalami krisis mulitidimensi, Tagore seperti berbisik kembali, mengingatkan untuk sama-sama menjadi pelayan untuk semua. Serta-merta mengingatkan supaya manusia tidak meninggalkan sarang untuk membuat sangkar – hal yang bisa menghalangi pencaharian batiniah.
Sutan Takdir Alisjahbana bisa jadi keliru ketika ia menolak dengan garang pikiran-pikiran Tagore dalam polemik kebudayaan di Indonesia (1935-1939). Pengarang roman Grotta Azzura berkeyakinan, mustahil dalam semangat Rabindranath Tagore akan lahir mesin terbang, rumah sakit yang lengkap, bank yang rapi dan teratur serta pertanian yang rasional. Kenyataanya, apa yang kini terjadi? Tidak kontekstualkah pikiran-pikiran Tagore kini? Tampaknya kita perlu membaca kembali buah pikiran Tagore. Setelah kita letih oleh semangat menjadi modern. Setelah kita letih oleh jargon membangunan demi kesejahteraan. ***
Pakubuan Kusa Agra, 3-8-2023
I Wayan Westa (Penulis Buku BALI SPIRIT)
Nb. Sebagian tulisan ini merupakan pengantar buku : Rabindranath Tagore, Puisi Sepanjang Masa. Terbitan Yayasan Dharma Sastra yang diluncurkan 7 Agustus 2002.
Editor : Guntur Bisowarno