Tak Berkategori  

Hari Suci Galungan yang Tidak Harus Dirayakan

Avatar
banner 120x600

Haluan Indonesia. Bali, Kamis, 3 Agustus 2023. Apa yang Anda pikirkan begitu membaca judul tulisan ini? Apakah judul ini menyengat perhatian Anda, untuk segera tahu isinya ? He he he, saya bukan sekedar ingin menarik perhatian Anda, judul ini memang merupakan esensi dari pesan yang hendak saya sampaikan. Asal dibaca sampai habis.

Kalau Anda pada hari ini sampai sepuluh hari ke depan, sedang berada di Bali, Anda akan beruntung dapat menyaksikan rangkaian ritual kolosal yang digelar seluruh masyarakat Hindu di Bali yaitu Hari Suci Galungan dan Kuningan.

Galungan-Kuningan merupakan sebuah festival yang berlangsung meriah di seluruh pelosok Pulau Bali. Semua pura dihias indah, baik pura keluarga, pura Kawitan (marga) pura Desa, maupun pura Kahyangan Jagat (untuk semua umat). Jalanan dipenuhi deretan penjor yang menjuntai anggun sejauh mata memandang. Dalam urusan ini, masyarakat Bali memang kompak.

Festival yang kesehariannya juga diwarnai dengan keseruan aktifitas kelompok-kelompok seni barong yang melakukan ‘Ngelawang’ atau ngamen budaya di jalanan ini, berlangsung selama dua mingguan. Bahkan penjor-penjor yang menghiasi jalanan tersebut, baru akan diturunkan serentak pada hari ke-21 dari Hari Galungan. Keren dan unik bukan?

Belum, itu belum terlalu unik. Perayaan bisa ada dimana-mana. Melalui tulisan ini, saya mengajak Anda berwisata menjelajahi kemeriahan Galungan-Kuningan dalam perspektif yang berbeda, menyelam lebih dalam, mengayuh lebih jauh.

Sebagai seorang penggerak Spiritual Heritage Tuorism (Pariwisata Warisan Spiritual) di Bali, saya melakukan penggalian dan menyajikan esensi-esensi atau spirit-spirit dari ritual-ritual warisan kami di Bali. Ada hal-hal tersembunyi di balik ritual-ritual dan perayaannya yang membuat Bali memiliki taksu atau kharisma yang sangat kuat, yang menjadikan Bali bagaikan magnet yang memiliki daya tarik yang sangat besar dalam bidang pariwisata.

Banyak orang tidak menyadari kalau setiap ritual itu memiliki tujuan pemberdayaan diri bagi anggota masyarakat, termasuk saya dulu. Sejak kecil sampai satu dekade belakangan ini, saya hanya larut dalam perayaan, menikmatinya sebagai bentuk sukacita.

Ah, saya jadi teringat kenangan masa kecil. Setiap Galungan pasti mendapatkan sesuatu yang baru, dan karena tidak ada tik-tok dan terbatasnya hiburan kala itu, setiap momen menjadi aktifitas hiburan yang dipenuhi kegembiraan.

Pada puncak hari H-nya, kami konvoi berkeliling desa memakai sepeda ontel bersama teman-teman. Pada garpu belakang sepeda, kami pasangi balon karet yang kalau roda berputar, gesekan balon dengan jeruji menghasilkan suara gaduh yang cukup keras, ngwek-ngwek-ngwek. Rasa puasnya mungkin tidak jauh berbeda dengan konvoi motor gede yang memekakkan telinga di jaman sekarang ini, wkwkwk.

Seiring perjalanan waktu, melalui para Guru, kehidupan memberikan saya pengalaman-pengalaman yang menjadikan saya seorang pengamat kehidupan, bukan hanya sebagai pelaku. Bahkan saya terbiasa menjalankan dua peran tersebut bersamaan, saya melakoni kehidupan sekaligus mengamatinya.

Pengamatan saya terhadap setiap fenomena ritual termasuk Galungan, menghasilkan pertanyaan-pertanyaan. Apa ritual ini? Siapa yang menciptakan dan kapan? Lalu untuk apa ?
Kesimpulan umum yang saya dapatkan setelah mengamati pengkondisian yang tercipta dalam kehidupan bermasyarakat di Bali, ritual Galungan merupakan salah satu bentuk pemberdayaan diri masyarakat. Baik bersifat perorangan, maupun secara kolektif.

Penetapan waktu Hari Galungan oleh para pendahulu, yang pengulangannya berlangsung setiap 210 hari sekali ini, bukan sekedar pengulangan biasa. Penetapan dan siklus pengulangannya diselaraskan dengan siklus kosmik atau siklus alam semesta (Buana Agung) yang berkarakteristik tertentu yang sesuai dengan maksud dari ritual. Perhitungannya memakai Wariga, yaitu ilmu astronomi Bali.

Jadi, sebuah ritual merupakan hasil dari rekayasa perilaku social yang dilakukan para bijak di jaman dulu. Rekayasa yang sangat canggih dan arif untuk memberdaya diri sekaligus membangun keselarasan yang menghasilkan harmonisasi kehidupan. Agar manusia Bali (Buana Alit) dengan alamnya (Buana Agung) dapat hidup harmonis.

Harmonisasi yang sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun ini, membuat struktur tanah, bebatuan, air, angin dan semua unsur kehidupan di pulau Bali menciptakan atmosfir kehidupan yang nyaman dan damai. Bagi Anda yang sudah pernah mengunjungi Bali, bukankah hal ini yang Anda rasakan?

Ada rasa nyaman dan damai yang tidak bisa dilogikakan dan dibahasakan. Bali menjadi pulau yang menyimpan misteri, pulau yang mistis. Bahkan konon, banyak warga negara asing yang sampai berkomitmen, tidak akan mati sebelum pernah ke Bali.

Banyak yang mencoba mencari jawaban atas misteri ini. Mereka mengira jawaban ada pada sifat umum orang Bali yang ramah, terbuka dan bersahabat, dimana tanpa pelatihan ilmu hospitality pun masyarakat Bali sudah menguasai dan mempraktikkan keramahtamahan dalam keseharian hidupnya. Keramahtamahan masyarakat Bali bukan kausa atau penyebab dalam kontek ini. Karakter kolektif yang bersifat mendukung ini hanyalah sintum, dampak yang nampak, yang merupakan hasil dari harmonisasi yang baru saja kita bahas.

Kemeriahan festival perayaan yang Anda bisa nikmati secara kasat mata sebagai wisatawan, juga bukan penyebab yang membuat atmosfir Bali memilik energi adem yang menyamankan dan mendamaikan. Perayaan bisa jadi justru merupakan outlet pelepasan energi yang menimbulkan kegaduhan dengan segala emisinya, termasuk sampak plastik.

Hari Galungan kurang tepat kalau diberi label Hari Raya. Karena Hari Raya berarti hari yang di-raya-kan dan memiliki konotasi sebagai hari-hari yang penekanannya pada perayaan. Perayaan jika tidak didasari atas pemahaman terhadap esensi ritualnya, hanya akan menghasilkan pesta-pesta yang bersifat hura-hura dengan tujuan bersenang-senang, tetapi tanpa makna.

Dalam perspektif esensi, Hari Galungan dan Kuningan lebih tepat disebut dengan Hari Suci karena maknanya adalah penyucian diri. Dalam pemahaman saya, Galungan sama esensinya dengan Idul Fitri, yaitu kembali ke diri yang Fitri. Hari suci lebih tepat diisi dengan ritual-ritual yang mengandung makna penyucian, bukan perayaan, bukan untuk dirayakan.

Kalau pemahaman kita sudah sampai di tingkat esensi, maka ketertarikan kita pada hebohnya sensasi perayaan dari sebuah ritual akan terlampaui. Ini seperti tanggalnya kesenangan bermain kelereng, ketika kedewasaan memberikan kita kebahagiaan dari melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat.

Memang akan selalu ada orang-orang atau sekelompok orang yang mainnya kurang jauh, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk move-on, apalagi diharapkan untuk move-up. Mereka stagnan dan masih tetap kekanak-kanakan. Apa yang bisa kita lakukan?

Untuk tujuan menumbuhkan semangat move-up bagi anak bangsa yang masih memiliki cinta terhadap kearifan-kearifan lokal di Nusantara, saya memiliki pembahasan menarik pada tulisan selanjutnya. Nantikan artikel berikutnya tentang menemukan serat sandi kearifan pada ritual dengan judul : ‘CODING & DECODING’ MITOS BAGI KEBANGKITAN KEARIFAN LOKAL NUSANTARA.

Rahayu.

Penulis : Nyomann Adikara Mahardikajaya, Penulis, Aktivis Lingkungan, Penggerak Spiritual Heritage Tourism, Ketua IHSA (Indonesia Homestay Association) DPD Bali.

Editor : Guntur Bisowarno (Ketua Bamboo Spirit Nusantara).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *