banner 728x250
Tak Berkategori  

Kawasan Hutan Lindung Register38 Lamtim Miliki Sengketa yang Berkepanjangan

Avatar
banner 120x600

Lampung Timur – Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945 larangan membuka kawasan hutan yang ditetapkan pemerintah penjajah Belanda dianggap tidak berlaku lagi oleh penduduk dan pejabat pemerintah (kepala desa, kepalanegeri, bupati/wedana, aparat kehutanan) ketika itu.

Kawasan-kawasan Hutan larangan itu kemudian diizinkan untuk dibuka dan dimukimi penduduk.

Dilansir dari horizon.documentation,
Terjadilah Pengusiran penduduk yang telah menggarap kawasan hutan, Pada tahun 1970-an muncul rencana pembangunan proyek waduk Danau Way Jepara berikut saluran irigasi yang akan mengairi 6000-7000 ha areal persawahan.

Tahun 1971 dilakukan survai kelayakan oleh Direktorat Jenderal Agraria bersama SAE (Survey Agro-Ekonomi).
Berdasarkan peta penggunaan tanah Inspeksi Land Use saat itu diketahui bahwa penggunaan lahan di bagian hulu Danau Way Jepara membahayakan ketersediaan sumber air danau yang berasal dari sekitar Rawa Way Abar.
Hal ini kemudian memunculkan gagasan untuk melakukan tindakan dan upaya melestarikan daerah tangkapan air (watereatchmentarett) untuk melindungi sumber-sumber air Danau WayJepara.

Pada tahun 1971 ini pula, Dinas Kehutanan mulai menurunkan Polisi Khusus (polsus) Kehutanan ke Gunung Balak. Tim ini memerintahkan penduduk mengosongkan kawasan hutan Register 38. Rumah-rumah penduduk, sekolah, dan tempat ibadah dibongkar dan dirobohkan, tanaman pertanianpun dicabuti, Tugas Polsus Kehutanan diperkuat dengan surat Bupati Lampung Tengah kepada Camat Labuan Maringgai Abdul Muis dan Kepala Desa Sadar Sriwijaya tanggal 19 September 1971 yang di tandatangani Sekretaris Daerah Siradjudin Djahidin, dan Surat Gubemur ZA Pagaralam No. G/196/71 tanggal 21 Oktober 1971.

Isi kedua surat tersebut adalah perintah untuk segera mengosongkan kawasan hutan Register38. Dalam kedua surat tersebut disebutkan bahwa tujuan pengosongan kawasan hutan untuk menjaga debit air Danau Way Jepara.

Menindaklanjuti perintah pengosongan tersebut, aparat pemerintahan, keamanan, dan kehutanan setempat dibantu oleh dua peleton pasukan sipil (hansip) yang telah dilatih selama 20 hari membentuk tim pengosongan yang beranggotakan sekitar 350 orang, Tim ini mengharuskan penduduk segera pergi meninggalkan lahan dan permukiman mereka Sasaran pengosongan yang pertama adalah pedukuhan 4-Sri sekitar 350 KK dari dukuh-dukuh ini disisipkan dalam program transmigrasi umum ke Way Abung, Lampung Utara.

Sebagian penduduk kemudian pergi mengungsi, tetapi sebagian lagi tetap bertahan dan mengadukan masalah ini ke berbagai Lembaga di Jakarta. Kepala Dukuh Srikaloka Abdul Rasyid, Kepala Dukuh Srikaton Matori, dan dua tokoh warga Iain mengadukan masalah ini ke markas RPKAD (Resimen Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat) Cijantung, Jakarta.

Pengaduan juga disampaikan kepada Kopkamtib, Menhankam, dan DPRRI. Menanggapi pengaduan tersebut dua anggota RPKAD mengunjungi Dukuh Sidodadi.

Setelah itu pada bulan Februari 1972, datang pula rombongan dari Jakarta, Brigjen Samiyono dan Mayor Ibnu dari Hankam, Supeno dari FKP DPRRI didampingi Letkol Ruslan dari Korem 043 Gatam Lampung dan Kapten Kasiyo dari Kodim 0411 Lampung Tengah. Rombongan ini datang untuk melihat keberadaan lahan yang digarap penduduk dan melakukan dialog dengan warga Srikaton dan Sidodadi. Kunjungan-kunjungan itu ternyata tak banyak membantu warga.

Sekitar bulan April1972, tim pengosongan yang terdiridari aparat kecamatan, Koramil, Polsek, dan desa kembali memerintahkan penduduk untuk meninggalkan Gunung Balak, sebagian warga pergi mengungsi tetapi banyak juga yang tetap bertahan.

Terjadi ketegangan dan bentrokan-bentrokan fisik antara tim pengosongan dan warga yang bertahan, bentrokan bahkan sampai menimbulkan korban jiwa, Bentrokan dan ketegangan masih terjadi hingga di bulan Mei 1972, ketika satu regu tentara Angkatan Darat datang dan membangun pos yang berhadapan dengan pos tim pengosongan di Sidorejo. Kedatangan regu tentara ini berhasil menenangkan warga yang bertahan, sehingga meredakan ketegangan antara warga dan tim pengosongan.

Dengan meredanya ketegangan antara warga dengan tim pengosongan, warga kembali menggarap
Iahan dan membangun permukiman, Banyak warga yang telah mengungsi kembali datang dan menggarap Iahan Iagi.
Bantuan pihak Iuar juga doterima penduduk dari Tiro Karya Bakti Golkar yang membagikan beras, paku, obat-obatan, dan melayani pengobatan gratis selama dua hari, Tiro Karya Bakti ini ditingkat pusat diketuai John DP Simamora, tingkat Provinsi R. Sudarsono, dan tingkat kabupaten Awet Abadi.

Tanggal 4 Agustus 1972, Harian Angkatan Bersenjata memuat berita berjudul “Kasus Gunung Balak Ditangani Pusat”, yang menyebutkan dikeluarkannya surat keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Transmigrasi dan Koperasi No. 320 dan No. 124 Tahun 1972 tentang Pembentukan Panitia Penyelesaian Persoalan Gunung Balak yang diketuai Ditjen Transmigrasi R.Subiyantoro, sekretaris Kol. Inf. Suyono dari Depdagri, dan anggota Ditjen PUOD, Ditjen Agraria, Ditjen Pengairan Dasar, Ditjen Kehutanan, dan Hankam.

Pada tanggaI 23 Desember 1972, Gubernur Lampung Sutiyoso, pengganti ZA Pagar alam, mengeluarkan surat keputusan No. G.180/D/ HKIXII/1972 yang isinya Iarangan bagi siapapun untuk memasuki wilayah Gunung Balak tanpa izin Gubernur.

Berita yang mengembirakan penduduk terjadi tanggal 20 April 1974,
saat Bupati Lampung Tengah A.S. Imam Prabu mengeluarkan SK No. 8/I.K.lP/Peml74 yang isinya mengesahkan pedukuhah/umbulan, plong di kawasan Gunung Balak menjadi kampung (desa) persiapan yang bejumlah12 yakni Srikaton, Srimulyo, Srikaloka, Sriwidodo, BandungJaya, Ogan Jaya, Sidodadi, Sidorejo, Brawijaya, Mojopahit, Way Abar, dan Yabakti.

Tanggal 13 Juni 1974 Gubernur Lampung Sutiyoso mengeIuarkan SK No. G/85/D.I/HK/74 menetapkan pembentukan Kecamatan Perwakilan Gunung Balak yang mencakup satu desa definitif Bandar Agung dan 12 desa persiapan.
Semua desa terletak di dalam kawasan Register 38 Gunung Balak, yang semula terpisah dalam tiga kecamatan, yaitu Sukadana (Kampung Yabakti), WayJepara (KampungWay Abar), selebihnya Jabung dan Labuhan Maringgai.

Menindaklanjuti keputusan pembentukan kecamatan, tanggal 24 Juni 1974 Gubernur Sutiyoso mengeluarkan SK No. G/88/D.IIHKl1974 yang menetapkan ±11.500ha areal di bagian hulu Danau Way Jepara sebagai daerah penampung air hujan (catchment area). Dariluastersebut 4.500 ha, berada di luar batas Register 38, dan selebihnya merupakan bagian dari 19.680 ha Register 38.

Tahun 1976 melalui SK Gubernur yang lain, luas daerah tampung air Way Jepara diubah menjadi 12.113 ha.
Tahun 1984 Menteri Kehutanan melalui SK No. 213/Kpts-VII/84 tanggal 25 Oktober 1984 menyetujui penambahan luas kawasan hutan Gunung Balak dari 19.680 menjadi 24.248,30 ha.

Tanggal 27Juli 1974 Bandar Agung dijadikan ibukota kecamatan,
Pada hari itu juga Bupati A.S. Imam Prabu melantik Lukman Hakim sebagai Camat Gunung Balak dan 13 Kepala Kampung.
Dalam pengarahannya ia
meminta warga mulai menanami lahan garapan dengan tanaman keras seperti cengkeh, kopi, kelapa, damar, mahoni, dan sebagainya.
Pada saat itu jumlah penduduk 13 kampung itu adalah 11.993 KK atau 56.356 jiwa terdiri dari sukuJawa, Sunda, Bali, Ogan (SumateraSelatan), dan Lampung.

Namun pada tahun 1980 penduduk kembali mendapat berita bahwa
pemerintah akan mengosongkan dan mereboisasi kawasan hutan Gunung Balak, yang akan dimulai dari catchmentarea (wilayah tangkapan air) di hulu Danau Jepara, Penduduk akan dipindahkanmelalui prograrn transmigrasi
lokal. Aparat pemerintah setempat lalu mulai memerintahkan warga untuk menghentikan kegiatan pengggarapan lahan dan mengharuskan warga membongkar rumah-rumah mereka, meskipun perpindahan ini sempat menjadi masalah antara pemerintah daerah Sumatera Selatan dan Lampung, namun kejadian ini terus berlanjut hingga Maret 1981, Dan bagi penduduk yang bertahan rumah mereka dirobohkan atau dibongkar secara paksa oleh para petugas.

Sejak 1983-1984 inilah secara paksa dan terus menerus penduduk Gunung Balak dipindahkan, Sejalan dengan pemindahan penduduk, desa desa di kawasan Gunung Balak dihapuskan melalui SK-SK Gubernur Yasir Hadibroto SK Gubemur No. G/245/B.IIIIHK 1984 menghapus Desa BandungJaya, Way Abar, OganJaya, dan Yabakti.
SK No.G/281/B.ITII HK 1986, menghapus Desa Srikaton, Srimulyo, Srikaloka, Sriwidodo, dan Sidodadi, Dengan SK ini pula Kecamatan Perwakilan Gunung Balak ikut dihapuskan dan kembali menjadi Kawasan Hutan Lindung Register38. (jex)

Sumber : https://horizon.documentation.ird.fr/exl-doc/pleins_textes/divers17-08/010024124.

Example 728x250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *