Haluan Indonesia, Bali, Sabtu, 2 September 2023. Bangunan perjalanan bangkitnya kesadaran Kami. Inilah wujud bangunan kesadaran Kami.
Kami tidak biasa diberikan hafalan ayat-ayat suci. Yang mengendap di dalam ingatan kami hanyalah cerita-cerita sederhana yang menyentuh hati. Cerita pengantar tidur yang membuat kami terlelap di pangkuan ibu, ayah atau kakek-nenek. Dongeng-dongeng yang tidak nyata, tetapi sangat membekas, membekali kami dengan nilai-nilai mulia dan kearifan kehidupan.
Kami bingung dengan istilah doktrin, tentang jejalan ajaran-ajaran kebenaran yang konon sifatnya absolut dan harus diyakini. Kami tidak pernah mengenal istilah itu. Hanya mengenal laku yang diteladankan dan tutur-tutur yang didendangkan. Juga berupa tuntunan lewat ritual-ritual unik yang nampaknya rada-rada primitif. Kami jadi tersohor, ya telah menjadi viral jauh sebelum ada medsos, tiktok, Youtube dan platform-platform digital lainnya. Tetapi entah, apakah karena memang dikagumi atau dianggap makhluk-makhluk unik yang kreatif, dan juga langka?
Melalui laku raga yang polos dan sederhana, kami diajarkan untuk memahami ketulusan. Dimana pikiran dapat dibuat terjaga dalam ketenangan, kejernihan dan memiliki daya cipta yang berkualitas tinggi. Dari ketulusan itulah kemudian lahir karya-karya seni yang dinamis, penuh kelembutan dan keindahan. Karya-karya sebagai bentuk-bentuk persembahan, bukan sebagai barang dagangan komersil yang memerlukan hak cipta segala. Muncul dari rasa bhakti, bukan dari rekayasa pikiran. Karenanya, kami tidak mengenal istilah dan fenomena kekayaan intelektual, yang sering kali diikuti dengan ulah rebutan dengan saling klaim.
Kami dibiasakan dekat dengan alam, selaras, bahkan intim dengannya. Karena menurut tutur para tetua, tubuh ini terbuat dari unsur-unsur Panca Maha Buta yang sama dengan unsur-unsur alam. Kelak ketika meninggal, semua unsur-unsur itu kembali ke alam. Keselarasan antara unsur-unsur pembentuk badan ini dengan unsur-unsur alam, membuat kami senantiasa saling terhubung, menjadi waras untuk saling menjaga.
Kaki telanjang kami setiap hari menjejak tanah, menapaki jalan-jalan desa, pematang-pematang sawah, dan kebun-kebun. Sentuhan itu akan mengaktifkan dan memurnikan unsur tanah di dalam diri. Ibu Bumi Sang pemberi kehidupan menulari kami sifat pemberi dan bertumbuh. Menenangkan dan menjaga kami dari segala bentuk gejolak energi. Para praktisi energy menyebutnya dengan istilah ‘grounding’. Jangankan lompatan kecil listrik peralatan elektronik di rumah tangga, petir yang dahsyat pun mampu diredamnya. Dengan ungkapan membumi, kami juga senantiasa diingatkan untuk tetap rendah hati.
Kami diajarkan untuk memperlakukan air dengan penuh rasa hormat, agar air yang ada di dalam diri juga senantiasa di-charge. Ritual pembersihan-pembersihan diri dengan media air dilakukan di laut, danau, sungai, pancuran, atau sumber-sumber air lainnya. Terlebih sumber-sumber air, selalu dijaga dan disucikan dengan mendirikan pura Beji. Hutan dan pepohonan disekitarnya dipastikan terjaga, agar mata air terjaga keberlangsungannya. Leluhur kami sangat rendah hati mengakui ketidakmampuannya membayangkan dan berkomunikasi dengan Sang Pencipta yang Acintya, Tidak Terpikirkan. Untuk itu, setiap kali kami akan hadirkan Beliau dalam wujud air suci, Tirta.
Hutan dan pepohonan juga merupakan paru-paru alam yang dapat memberikan kami kualitas udara terbaik. Prana atau energi kehidupan yang ada di dalam media udara, selalu terjaga kemurniannya. Baik prana di alam, maupun prana di dalam diri kami Hidup adalah permainan energi, permainan prana. Kita disebut mati, ketika prana di dalam diri sudah tidak eksis lagi.
Terkait air dan udara inilah, kenapa pepohonan besar sering kami berikan kain. Kami sangat bersungguh-sungguh untuk menjaga dan menghormati mereka. Siapa yang pernah sesak nafas, pasti tahu bagaimana rasanya kekurangan udara. Pasti akan lebih menghargai udara. Dan udara yang mengandung oksigen itu, datangnya dari pohon. Salahkah kami bila berterimakasih?
Kami juga memiliki ritual selamatan untuk seluruh tanaman, khususnya tanaman hortikultura, baik yang di rumah maupun yang di kebun-kebun. Ritual ini disebut Tumpek Uduh atau Tumpek Uye yang datangnya setiap 210 hari sekali. Rasa syukur dan ucapan terimakasih kepadaNya, lebih logis kita sampaikan langsung lewat makhluk ciptaanNya ini. Bukan berarti menyamakan mereka dengan Tuhan. Bila tanaman saja kali perlakukan dengan penuh kasih, bagaimana mungkin bisa tuna kasih kepada umat manusia ?
Unsur api atau cahaya yang dimiliki alam sangat dihormati tetua kami. Bahkan konon, ribuan tahun silam, kepada sumber-sumber api semesta inilah doa-doa awal dipanjatkan. Matahari dan bulan sangat penting bagi kehidupan manusia. Bahkan Matahari menjadi sumber energi bagi semua kehidupan di bumi. Juga ada api di dalam diri yang harus kami kelola dengan baik yaitu api antusiasme dalam menempuh hidup. Pemurnian unsur api sangat penting untuk menjalani hidup yang baik dan mulia. Api yang terlalu besar akan menghanguskan.
Kami juga menghargai ruang sebagai unsur alam yang penting. Salah satu sebutan Tuhan dalam tradisi kami adalah Sang Hyang Embang, Dia Yang Maha Ruang. Kesadaran ini membuat leluhur kami memberikan perhatian dan sentuhan yang sungguh-sungguh terhadap setiap jengkal ruang yang ada di Bali. Kalau semua ruang di Bali akhirnya memiliki ‘taksu’ (kharisma), itu bukan karena kebetulan. Semuanya merupakan hasil upaya turun temurun lintas generasi para leluhur kami selama ribuan tahun.
Saya berkeyakinan, hal-hal mulia yang kami terima di Bali ini, juga dimiliki oleh semua suku dan masyarakat adat kita di Nusantara. Maafkan saya, hanya karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, saya baru sampai pada tahap menulis tentang Bali seperti ini. Semua ini mewakili budaya luhur para leluhur kita di Nusantara. Kita seharusnya merasa sangat bangga dan bersemangat menjadi pewaris Budaya Nusantara.
Sekarang, setelah kerusakan-kerusakan alam melanda, akhlak manusia merosot, kearifan-kearifan yang dilabeli berhala ini mulai dilirik. Ada nilai-nilai mulia dibalik kearifan-kearifan itu yang telah nyata mampu menjaga bumi dan mendamaikan penghuninya. Bangsa-bangsa maju yang telah mencapai puncak dalam hal kehidupan materi dan intelektualitas, masih merasa kosong dalam spiritualitas. Mereka mencari dan menemukan jawaban-jawabannya di Nusantara ini.
Mari kita kembali kepada jati diri ini, kemudian melayani para tamu-tamu kita yang datang untuk pencarian yang sama.
Rahayu Rahayu Rahayu 🙏
Penulis: Nyomann Adikara Mahardikajaya, Penulis, Relawan Lingkungan, Penggerak Spiritual Tourism, Ketua IHSA (Indonesia Homestay Association) Bali.
Editor :
Guntur Bisowarno (Ketua Bamboo Spirit Nusantara)
Sponsor Narasi :
(MMG, BSN, DPD IHSA BALI)