Bali – Melihat senyum-senyum khas yang ada di dalam foto ini, ingatan saya melayang menembus waktu. Terbayang kembali senyum ibu-ibu dan mbok-mbok (kakak-kakak perempuan) para kerabat dan tetangga saya dulu di kampung, di Desa Blahbatuh Kabupaten Gianyar-Bali, Jumat (25/08/2023).
Senyum yang sama, ceria, polos dan hangat bersahabat. Entah kenapa, senyum-senyum ini bisa terlihat sama di seluruh pelosok Bali.
Pada saat berkumpul bersama-sama ‘mejejaitan’ (membuat sesaji dari bahan janur) dan ‘metanding’ (menyusun sesajen persembahan), obrolan mereka selalu diwarnai dengan candaan.
Suasana senantiasa didominasi keceriaan, oleh senyuman dan tawa-tawa kecil yang riang. Semua itu masih terus terngiang-ngiang di telinga tua saya ini. Kedekatan dan kebersamaan mereka terasa begitu kuat membekas. Para perempuan yang tangguh dan selalu saling menguatkan itu, telah mewarnai hidup saya.
Pengalaman hidup bersama mereka, memberikan saya pemahaman yang dalam dan utuh tentang sosok dan peran para perempuan di Bali.
Banyak ahli yang menaruh perhatian, malakukan enelitian dan berteori tentang para perempuan Bali. Tentang keunikan dan ketangguhannya. Ketika banyak pihak yang memberikan pujian, saya ikut merasa bangga.
Berkah bagi saya, telah lahir dari rahim seorang perempuan Bali dan dibesarkan di tengah masyarakat dengan perempuan-perempuannya yang hebat.
Sesungguhnya keilmuan tidak akan mampu mengangkat keseluruhan fenomena tentang perempuan-perempuan Bali, termasuk pergulatan batin yang mereka alami.
Walau hidup di tengah masyarakat dengan sistem patrilineal, sangat jarang saya temukan mereka mengeluh. Sekali mereka ‘mepamit’ (pamit secara adat – niskala) dari rumah bajang atau bujang, maka mereka akan total lebur dan mendedikasikan diri pada keluarga suami.
Sampai awal tahun 2000-an, sebelum media sinetron dan berita tentang perceraian artis merebak, saya belum pernah menemui satu pasangan pun bercerai di kampung saya. Itu menunjukkan mereka memiliki daya tahan dan komitmen yang luar biasa untuk keutuhan keluarga. Kebetulan tradisi Hindu memang tidak mengenal aturan tentang perceraian.
Kesetiaan perempuan Bali terhadap keluarga, budaya dan tradisi agama adalah bagian dari ketangguhannya.
Kualitas ketangguhan dan dedikasi perempuan-perempuannya membuat Bali seperti sekarang, damai dan bertabur keindahan. Bali memang sangat mengandalkan perempuan-perempuannya.
Semoga tekanan-tekanan era disrupsi digital ini tidak membuat kualitas ketangguhan dan dedikasi mereka mengalami penurunan. Spirit Hindu yang mendasari kehidupan di Bali, memposisikan perempuan sangat terhormat bahkan vital.
Perempuan adalah sakti atau energi bagi pasangannya. Dalam ajaran Tri Murti di Bali, setiap Dewa didampingi para saktinya masing-masing. Dewa Brahma dalam tugas penciptaan didampingi Dewi Saraswati, penguasa Seni dan Ilmu Pengetahuan.
Dewa Wisnu Sang Pemelihara dengan pendamping Dewi Laksmi penguasa kemakmuran dan kesejahteraan. Sedangkan Dewa Siwa Sang Pendaur Ulang didampingi Dewi Parwati.
Analoginya, perempuan itu seperti listrik bagi alat-alat elektronik. Sesuatu yang tidak terlihat, tidak nampak di permukaan, tetapi menjadi energi penggerak yang membuat semuanya berfungsi. Tanpa daya listrik, maka TV, kulkas, komputer dan semua benda-benda canggih itu hanyalah barang rongsokan. Analogi ini sebagai jawaban mengapa laki-laki sulit menjadi single parent kalau ditinggal istrinya.
Posisi sebagai sakti adalah sang penentu. Untuk apa lagi ikut-ikutan memperjuangkan kesetaraan atau emansipasi? Kesetaraan seperti apa yang dimaksud?
Di sisi lain, semoga laki-laki Bali seperti saya ini, dapat lebih sadar dan dapat lebih rendah hati untuk mengapresiasi para dewi kita.
Diposisikan sebagai sakti dalam kehidupan, perempuan bagi orang Bali bukanlah objek seks. Sampai tahun 40-an, perempuan Bali masih banyak yang bertelanjang dada dalam keseharian. Banyak sekali video dan foto dokumenter yang bisa diunduh dari dunia maya sebagai buktinya.
Mengapa Pretima (patung atau bentuk lain yang dijadikan media menghubungkan diri dengan Tuhan) yang berwujud para dewi banyak yang dibuat bertelanjang dada ? Karena kaum laki-laki Bali dari generasi ke generasi dididik dengan pemahaman bahwa payudara itu simbol kasih sayang ibu kepada kita. Dari sana kita memulai kehidupan, di atas pangkuan ibu. Itu menjadi simbol hubungan sakral yang penuh kasih antara anak dengan Ibu yang melahirkan dan membesarkannya.
Bagaimana mungkin bisa berpikir ke arah nafsu? Energi feminim yang dimiliki para perempuan seperti kasih sayang, pengayoman, kesabaran, kelembutan, kehati-hatian, kedamaian, keindahan dan sejenisnya, merupakan kualitas energi yang lebih dekat kepada sifat-sifat Ilahi. Ketika perempuan Bali mengambil perannya secara aktif, maka Bali menjadi ber-‘taksu’ (berkharisma).
Terimakasih para perempuan Bali. Kami semua mengandalkan kalian!
Penulis: Nyomann Adikara Mahardikajaya, Penulis, Penggerak Spiritual Heritage Tourism, Ketua DPD Indonesia Homestay Association (IHSA) Bali.
Editor : Guntur Bisowarno (Ketua Bamboo Spirit Nusantara)