Haluan Indonesia, Senin, 7 Agustus 2023. Beberapa hari yang lalu, saya menonton sebuah podcast dan mendapatkan sebuah informasi yang mencengangkan dari Sang Host. Salah satu koleganya di kantor imigrasi pernah menyampaikan bocoran, bahwa setiap tahun seribuan lebih anak-anak muda kita yang ‘terpelajar’ datang ke imigrasi untuk mengurus kepindahannya menjadi warga negara lain !
Lho, kok bisa ? Di mana rasa nasionalisme dan rasa bangga mereka terhadap tanah air?
Apa pun faktor penyebabnya, yang jelas anak-anak itu sudah tidak lagi memiliki kebanggaan sebagai orang Indonesia. Sudah tidak lagi memiliki kebanggaan, atau memang tidak pernah memilikinya dari sejak kecil ? Entahlah!
Bisa jadi mereka memang sejak awal tidak memiliki kebanggaan, karena lahir dan tumbuh besar di dalam masyarakat Indonesia yang kebudayaan dan kearifannya sebagian besar dilatari oleh cerita-cerita tradisional seperti mitos dan legenda. Penilaian dan persepsi yang mereka terima tentang cerita-cerita itu cenderung negatif, tidak ubahnya dongeng-dongeng yang tidak bermanfaat.
Menurut kajian sejarah dan sosial, memang ada upaya subyektif yang secara intensif masif selama berabad-abad telah memojokkan mitos dan legenda dengan tujuan melemahkan keyakinan masyarakat. Apalagi, selain untuk memasukkan dan memposisioning keyakinan baru. Siapa yang mau dikatakan bodoh dan kuno karena mempercayai takhayul? Apalagi disertai ancaman dosa segala.
Kita harus memberikan apresiasi yang tinggi kepada dunia ilmiah dengan para ilmuwannya, khususnya di bidang sejarah, antropologi, social-budaya dan komunikasi. Merekalah yang menempatkan mitos sebagai bagian yang sangat penting bagi kebudayaan sebuah masyarakat. Sampai ada bidang keilmuannya yaitu Mitologi. Tidak terbayangkan bila tidak ada kehadiran mereka.
Di Indonesia, mitos mengambil peran yang sangat mulia dalam membentuk akhlak dan menjaga kehidupan masyarakat. Kebenaran bukan diukur dari apakah sebuah cerita harus merupakan kisah dan berdalil, melainkan dari fungsinya yang mampu menghasilkan masyarakat yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan hidup damai.
Ada kecerdasan yang luar biasa di balik penciptaan cerita-cerita mitos yang telah dipropagandakan sebagai budaya kampungan ini. Memang betul mitos bukanlah kisah nyata, berarti mitos adalah sebuah rekaan, barang buatan. Mitos adalah rekayasa cerita yang dilengkapi rekayasa sistem yang dilengkap dengan ritual-ritual implementasinya. Dan ini terbukti berhasil membentuk masyarakat yang berperadaban tinggi.
Di persada Nusantara ini terdapat ribuan mitos dan ritual yang dihargai dan dijalankan masyarakat. Pada setiap mitos itu, terkandung muatan pesan yang menghidupi. Yaitu ajaran kemuliaan yang dengan sengaja disandikan di dalamnya. Atau dalam istilah digital popular sekarang, ada pesan yang di-coding. Pesan-pesan yang disandikan inilah yang merupakan spirit dari setiap mitos yang terimplemantasi menjadi ritual.
Kita pilih salah satu ritual di Bali, melanjutkan materi tulisan sebelumnya, yaitu ritual Hari Suci Galungan. Spirit yang disandikan di dalam ritual Hari Suci Galungan adalah kemenangan Dharma (kebajikan) atas Adharma (kemungkaran) dengan memakai cerita mitos terbunuhnya Raja Maya Denawa oleh pasukan Dewa Indera.
Agar kita dapat memahami pesan apa yang sudah di-Coding, kita harus memecahkan sandinya terlebih dulu, atau men-Decoding-nya kembali. Ini adalah proses kita memberikan penafsiran terhadap pesan dan merekonstruksi hal-hal apa yang sesungguhnya diinginkan oleh para leluhur yang bijak bagi masyarakatnya.
Sekarang, mari kita lakukan Decoding atas mitos Matinya Maya Denawa. Dari penamaan Maya Denawa sebagai tokoh yang diposisikan mewakili kemungkaran atau negatifitas, kata Maya memiliki arti ilusi atau khayalan (hanya tampaknya ada, tetapi nyatanya tidak) atau hanya ada dalam angan-angan. Sedangkan Denawa adalah kata lain dari sosok Raksasa.
Maya atau ilusi bersifat mengecoh atau mengelabui. Pikiran kita sendiri sering mendistorsi persepsi kita tentang kenyataan, sehingga kita menjadi bingung dan terjebak dalam drama korea kehidupan yang tidak berkesudahan. Sebelum mengkhawatirkan AI (Artivifial Intelligence), kita perlu mewaspadai sang pencipta ilusi terdekat yang bercokol di dalam diri, yaitu pikiran kita sendiri.
Secara kolektif, collective mind manusia akhirnya menciptakan kehidupan yang maya, yang ilusif. Sampai-sampai panggung sandiwara kehidupan ini dinamai dengan Mayapada.
Lha.. belakangan, kembali kita semua terjebak membentuk dan masuk ke dalam kehidupan dunia maya yang lain, yaitu dunia internet. Kehidupan maya menjadi berbingkai, di dalam dunia yang maya ini, ada dunia maya lagi. Dunia maya dengan media sosialnya yang semakin menggila dan membuat kecanduan. Entah berapa panci dan wajan yang menjadi korban, menjadi gosong gara-gara emak-emak dan ART keasikan bermedsos? He he he. Lengkap sudah maya menguasai kita.
Danawa atau raksasa memiliki sifat-sifat buruk dan serba berlebihan. Raksasa sangat berambisi untuk berkuasa dan menguasai, pongah dan arogan, serakah, barbar, suka merusak, hidup serampangan, sembrono dan semua sifat negatif lainnya.
Matinya Maya Denawa dapat ditafsirkan sebagai matinya Ilusi bersama keraksasaan di dalam diri dan juga dalam bermasyarakat. Kematian ini merupakan bentuk pencapaian yang harus diperjuangkan. Setiap 210 hari, masyarakat Bali diingatkan akan perjuangan ini. Perjuangan memenangkan dharma atas adharma di dalam diri. Secara kolektif, juga perjuangan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih mulia dengan menegakkan dharma.
Maya Denawa mati karena dibunuh oleh Dewa Indera, Sang penguasa indera. Hanya dia yang mampu menguasai keseluruhan inderanya, yang akan mampu mengalahkan ilusi dan sifat-sifat negatif di dalam dirinya. Nah lho. Bentuk coding yang keren bukan?
Indera-indera liar di dalam diri yang tidak mampu dikendalikan, akan mengambil otoritas sebagai pengendali. Berapa banyak orang yang yang Anda ketahui kehidupannya dikuasai oleh kesadaran inderawi? Hidupnya dipenuhi dengan tindakan-tindakan yang berbentuk kemungkaran.
Dewa Indera adalah Dewa yang bertanggungjawab memimpin operasional alam semesta beserta isinya. Ini kontek kolektifnya, bahwa pemimpin harus memiliki kemampuan Dewa Indera untuk menundukkan Maya Denawa, menundukkan ilusi dan keraksasaan kolektif masyarakatnya.
Saat ini Bali, kepemimpinan Dewa Indera benar-benar riil terjadi lho.. Maksud saya, pejabat Sekda Bali yang sekarang, nama Beliau adalah Bapak Dewa Indra ! Wkwkwk
Demikianlah decoding mitos yang melatari Hari Suci Galungan sebagai satu contoh saja. Mitos dengan rekayasa pesan yang sangat keren bukan? Di seluruh Nusantara, leluhur kita telah mewariskan karya cipta berupa ribuan mitos-mitos dan tradisi-tradisi ritual dengan pesan-pesan kearifan yang luar biasa seperti ini.
Ketidakmampuan kita mengenali bahwa semua itu adalah bentuk-bentuk coding kearifan yang harus kita decoding pesan-pesannya, merupakan kelemahan yang menjadikan kita pewaris yang disabilitas rohani. Kita kehilangan rasa hormat terhadap leluhur, bahkan dengan arogan menuduh para leluhur sendiri sebagai kaum yang tidak mengenal nilai-nilai ketuhanan dan memberikan mereka label berhala.
Kita adalah keturunan dari para leluhur yang canggih dan bijak. Di dalam DNA kita, ada catatan-catatan kapasitas hebat itu. Saatnya kita menjawab dengan penuh semangat tantangan sejarah untuk membangkitkan kearifan lokal Nusantara yang adiluhung.
Merdeka !
Penulis : Nyomann Adikara Mahardikajaya, Penulis, Aktivis Lingkungan, Penggerak Spiritual Heritage Tourism, Ketua IHSA (Indonesia Homestay Association) DPD Bali.
Editor : Guntur Bisowarno (Ketua Bamboo Spirit Nusantara)